Tanaman Liar yang tak lagi tersingkirkan

Indonesia sudah sejak dulu dikenal sebagai zamrud khatulistiwa karena sumber daya alamnya yang melimpah ruah. Namun dibalik itu semua, angka stunting & kekurangan gizi di Indonesia juga tak kalah tingginya. Prihatin akan hal tersebut, Hayu Diah Patria, seorang sarjana lulusan teknologi pangan, tergerak hatinya memberdayakan tanaman liar yang ada di sekitarnya.

Riset dimulai pada tahun 2004 di daerah Malang, Jawa Timur. Perkenalannya dengan tanaman liar dimulai dari saat ia hendak membuat penelitian tentang kandungan gizi mangrove. Ia mencoba menggali informasi dari para lansia di desa-desa mengenai jenis makanan apa saja yang mereka konsumsi di waktu muda. Hasilnya, banyak tanaman liar yang ternyata mengandung nilai gizi tinggi & bisa diberdayakan untuk ketahanan pangan. Beberapa diantaranya adalah Krokot, Sorgum, Legetan, & Katsuba. Ternyata di daerah tersebut, banyak dijumpai daun kastuba dan daun krokot. Dua jenis tanaman liar yang sangat mudah didapat di Desa Galengdowo.

Selama ini Krokot masih dianggap sebagai tumbuhan gulma, bagi sebagian orang, krokot mungkin dianggap sebagai tumbuhan biasa. Tanaman ini bisa tumbuh di mana saja, malah sering dianggap sebagai gulma bagi tanaman lain meskipun ada sebagian masyarakat yang telah memanfaatkannya untuk dikonsumsi atau untuk pakan ternak yaitu pakan tambahan bagi burung karena krokot diyakini dapat membuat suara kicauan burung kenari lebih jernih. Ternyata, krokot memiliki nutrisi yang sangat baik. Krokot memiliki nilai gizi yang lebih tinggi di banding tanaman sayuran utama dengan kandungan vitamin A, B, beta-karotin, vitamin C, vitamin E, omega 3, omega 6 yang lebih tinggi. Disamping itu tanaman Krokot memiliki sifat pangan fungsional yang mempunyai dampak positive terhadap kesehatan diantaranya adalah antoiksidan  dan anti mikroba, alkaloid, flavonoid.

Tanaman krokot

Sedangkan Kastuba banyak mengandung vitamin C, seng, klorofil, kalsium, dan zat besi. Zat lain berada pada daunnya, seperti alkaloid, saponin, lemak, amylodextrin. Lalu, pada batangnya mengandung saponin, sulfur, lemak, amylodextrin, asam format, dan kanji. Kastuba ini cocok dijadikan bahan pengobatan, kue, maupun bahan olahan makanan seperti sayur. Selain jadi Lodeh, daun ini juga bisa diolah sebagai daun pembungkus Buntil. Khasiat daun yang lebih optimal bisa diperoleh jika daun tidak dimasak berlebihan atau terlalu lama.
Tanaman Katsuba

Pada tahun 2009, didirikanlah sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat di desa Galengdowo, Jombang, Jawa Timur. Lembaga tersebut berfokus pada pemanfaatan tanaman liar untuk bisa diberdayakan sebagai bahan pangan & diberi nama Matasa. Kini, hasil dari pemberdayaan tanaman liar di desa Galengdowo bukan hanya dapat mengatasi ketahanan pangan untuk masyarakat daerah tersebut, tapi juga sudah bisa dipasarkan ke luar daerah, seperti Yogyakarta, Surabaya, & Jakarta. Kini, Hayu sudah berhasil mengidentifikasikan sekitar 300 spesies tanaman liar. Ia juga berhasil mengundang kalangan akademis dan peneliti untuk menemukan kandungan nutrisi tanaman pangan liar dan berhasil meneliti 10 tanaman pangan liar secara mendalam. Dampaknya bagi masyarakat desa adalah masyarakat mulai mengkonsumsi lebih banyak tanaman pangan liar dibanding makanan olahan dan terbiasa memelihara tanaman liar. Selain itu, dampaknya bagi Desa Galengdowo adalah desa ini sudah memberikan presentasi di luar negeri mengenai apa yang telah mereka lakukan untuk mengatasi gizi buruk.
Desa lain yang juga diberdayakan adalah Mendiro & Karangdowo di Klaten, Jawa Tengah. Di desa Mendiro, Hayu & tim Matasa membuat kebun komunal, dimana kebun tersebut berisi tanaman liar yang ada di hutan konservasi yang tidak boleh dimasukin masyarakat. Ia berhasil memindahkan lebih dari sekitar 80 jenis sayuran liar dari hutan ke kebun tersebut. Sedangkan di desa Karangdowo, Hayu pernah membuat festival pangan liar yang menampilkan cake dari daun Krokot, cendol dari daun Katsuba atau Legetan, dll. 
Hayu mengaku bahwa tantangan terbesar adalah mindset masyarakat, apalagi setelah revolusi hijau, monokultur yang besar-besaran dan ada banyak propaganda terutama tentang kalau tidak makan beras itu bukan orang Indonesia asli atau jadi warga negara kelas dua. Jadi masyarakat yang makanan awalnya bukan padi, tapi sejak tahun 70-an mereka mulai beralih ke beras karena tidak ingin menjadi warga negara kelas dua.Belum lagi adanya sistem patriarki. Jadi suami-suami banyak yang tidak rela kalau istrinya aktif atau mendapatkan edukasi. Jadi jika tim ada jadwal berkebun, ada beberapa yang dilarang suami untuk pergi, alasannya karena nanti tidak ada yang melayani para suami. Sistem patriarki ini cukup menghambat kegiatan para ibu-ibu di komunitas.
Sekarang, Hayu & Tim Matasa juga sedang melakukan penilitian di Papua, Kalimantan, & Kepuluan Sumenep. Mereka juga terus mempromosikan & meneliti tanaman liar yang bisa dijadikan sebagai bahan pangan, agar tercapai Indonesia yang bebas dari gizi buruk & kedaulatan pangan. Harapan mereka adalah jangan sampai ada kasus kelaparan atau malnutrisi, terutama di kalangan perempuan dan anak-anak. Karena keragaman hayati Indonesia yang luar biasa. Jika dilihat dari studi paling terakhir FAO terkahir ada lebih dari 7.000 jenis tumbuhan yang bisa dimakan, dan Indonesia itu negara biodiversity, jadi seharusnya Indonesia memiliki ratusan bahkan ribuan jenis makanan yang bisa dimakan. 




Komentar

Postingan Populer